Mengenal Konsep Waktu Dalam Filsafat: Sebuah Tinjauan – Penulis buku : – “Pemimpin Spiritual” – “Merancang Manajemen Perubahan dan Perubahan Budaya” – “Penguatan Nilai Bersama dan Budaya Perusahaan” – “Budaya Perusahaan – Kunci Utama Keunggulan Kompetitif” – “Kegiatan Ekonomi Syariah” – “Sosial Ekonomi Dinamika Islam “Menulis untuk berbagi ilmu dan pengalaman agar bermanfaat bagi banyak orang dan negara kita tercinta Indonesia.
25 Agustus 2022 09:44 25 Agustus 2022 09:44 Diperbarui: 25 Agustus 2022 09:49 1243 31 26
Mengenal Konsep Waktu Dalam Filsafat: Sebuah Tinjauan
Waktu—entah itu waktu objektif (“jam”) atau pengalaman subjektif waktu—merupakan konsep penting untuk memahami bagaimana individu, tim, dan organisasi tumbuh, berkembang, belajar, dan berubah. Namun, sebagian besar penelitian manajemen dan tinjauan literatur biasanya menekankan waktu obyektif untuk membedakannya dari waktu subyektif.
Makalah Filsafat Ilmu Objek Kajian Kel. 2
Beberapa orang sangat membutuhkan peretasan berbeda untuk mengatur waktu dengan lebih efisien agar lebih disiplin dan terstruktur dalam hidup mereka. Namun, bagi sebagian lainnya, manajemen waktu merupakan penghalang terhadap efektivitas dan produktivitas yang sebenarnya.
, telah melakukan penelitian yang berfokus pada pengalaman subjektif dan psikologis waktu, termasuk aliran pengalaman kerja (misalnya, kebugaran, kepuasan, dan kelelahan), sifat berlalunya waktu dan perhatian, dan bagaimana individu memandang waktu Mempengaruhi kinerja. Peningkatan organisasi, dan koordinasi.
Profesor Abby J. Shipp awalnya adalah seorang pendukung manajemen waktu yang efektif, namun ternyata perencanaan waktunya yang cermat ternyata berdampak negatif pada kesehatannya. Orang luar melihatnya sebagai orang dengan karier yang sukses, keluarga yang bahagia, tetapi dia merasa bahwa dia sedang mewujudkan mimpinya. Apa yang kebanyakan orang tidak tahu adalah bahwa dia sebenarnya sedang berjuang dengan insomnia kronis, malnutrisi, saraf terjepit di lehernya, dan ketidakseimbangan hormon yang parah. Akhirnya, ia menyadari bahwa, ironisnya, manajemen waktu adalah penyebab penyakit yang ia alami.
Akibat penderitaan yang dialaminya dengan kesehatannya yang menurun, banyak dokter yang mendesaknya untuk memperlambat ritme manajemen waktunya yang selama ini dianggap efektif. Catatan medis menyebutkan bahwa daftar penyakit Profesor Abe semuanya mengacu pada tekanan mental dan manifestasi stres dalam tubuhnya.
Jual Psikologi Filsafat Original Harga Termurah September 2024
Namun, Profesor Abe menjawab, “Tetapi saya tidak bekerja sebanyak orang lain – saya benar-benar efisien!” Namun kemudian terjadi sesuatu pada Januari 2019 yang mengejutkannya, karena ia tidak pernah bisa menulis atau berpikir. Dia menatap komputernya dan takut dia tidak akan mampu melakukan pekerjaan yang dia sukai, pekerjaan yang telah dia lakukan selama bertahun-tahun, namun pekerjaan itu menjadi terlalu sulit dan pada saat itu hidupnya terasa tidak ada artinya. Upaya efisiensi dan produktivitas yang mereka lakukan selama ini justru hancur dalam proses itu sendiri.
Kemudian dalam proses terapi, dia dan Profesor Karen Johnson meneliti dan kemudian beralih ke manajemen waktu subjektif. Dan setelah itu, Profesor Abby menemukan lebih banyak kegembiraan dalam pekerjaannya, dan kesehatannya membaik.
Penelitian yang dilakukan oleh Profesor Abby J. Shipp bersama Profesor Karen Johnson dan kemudian dibahas dalam Harvard Business Review ini menawarkan tiga pelajaran yang menunjukkan mengapa metode manajemen waktu tradisional yang kita gunakan justru menghambat kehidupan kita dan hal ini bisa menjadi rumit.
Pelajaran yang dapat dipetik dari penelitian Profesor Abby J. Shipp dan Profesor Karen Johnson adalah bahwa waktu subjektif mencerminkan cara orang memandang, menafsirkan, dan melakukan perjalanan mental melalui waktu, menggunakan ingatan dan prediksi untuk memahami masa kini. Sedangkan waktu obyektif menitikberatkan pada jam dan kalender sebagai ukuran waktu di luar diri individu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa obsesi terhadap manajemen waktu objektif menyembunyikan tiga pelajaran penting dari waktu subjektif:
Being And Existence
Pertama, sifat objektif waktu sepenuhnya berkaitan dengan waktu subjektif, namun kita tidak mengakui fakta ini. Banyak orang percaya bahwa rapat harus diadakan pada jam atau setengah jam, atau hari kerja adalah jam 8 sampai jam 5. Namun ini adalah konstruksi sosial yang dapat dilonggarkan dalam kondisi tertentu. Jika seseorang memerlukan rapat 20 menit, mengapa memblokir kalender selama 30 menit? Atau jika seseorang perlu istirahat siang yang panjang untuk memulihkan tenaga, siapa yang peduli jika hal itu tidak dijadwalkan pada waktu istirahat makan siangnya yang biasa? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menantang gagasan paling ketat mengenai manajemen waktu dan mendorong ditinggalkannya skema sementara atau “aturan waktu”, yang merupakan gagasan tetap tentang apa yang harus terjadi atau berapa lama hal itu akan berlangsung. Kita harus menyadari bahwa waktu tidak seobjektif yang kita kira. Waktu pada dasarnya adalah interpretasi subjektif, sehingga manajemen waktu tidak lengkap kecuali kita juga memperjelas struktur subjektif dari waktu yang kita jalani dan ciptakan.
Kedua, pahami bahwa “peristiwa topik” sama pentingnya dengan “jam target”. Tugas kerja atau rapat biasanya dijadwalkan pada waktu-waktu tertentu, misalnya berhenti pada siang hari untuk makan siang. Namun sebaliknya, cara bekerja yang paling menarik sebenarnya adalah dengan ritme kejadian, bukan berdasarkan waktu (misalnya mulai bekerja jam 8 pagi dan berhenti untuk makan siang). Pekerjaan berbasis acara memprioritaskan pekerjaan dari waktu ke waktu (misalnya, memulai pekerjaan saat Anda siap dan berhenti saat Anda perlu istirahat). Memandang tugas kerja sebagai peristiwa alami tidak hanya menekankan efisiensi, namun juga mengarah pada rasa kendali atas waktu dan kenikmatan pekerjaan yang lebih besar. Selain itu, bekerja di “waktu acara” juga menuai manfaat dengan meluangkan waktu sejenak untuk menenangkan pikiran. Brainstorming dapat bermanfaat ketika kita memerlukan solusi baru dan kreatif dengan implikasi yang semakin penting dalam pekerjaan pengetahuan. Mengingat bahwa pengaturan waktu acara menawarkan kebebasan untuk berpikir dengan cara yang berbeda dan terbuka, siapa pun dapat menemukan “momen” menarik yang diabaikan oleh pandangan yang sangat kaku tentang manajemen waktu.
Ketiga, penelitian ini menjelaskan bahwa ketika orang memahami, menafsirkan, dan melakukan perjalanan mental melalui waktu subjektif, mereka pada dasarnya mencari makna. Orang sering kali menghidupkan kembali pengalaman masa lalu atau peristiwa masa depan dalam “kehidupan lampau”, mencari cerita yang masuk akal dari pengalaman tersebut di masa sekarang. Misalnya, narasi tentang bagaimana Anda “menyesuaikan diri” dengan tempat kerja membantu Anda memahami jalur karier Anda saat Anda merenungkan pelajaran dari pekerjaan sebelumnya dan mengantisipasi perpindahan ke pekerjaan berikutnya. Makna seperti itu tidak dapat ditemukan dalam waktu obyektif, yang menggambarkan waktu sebagai sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Jika semua satuan waktu adalah sama, maka satu siklus berarti tidak lebih atau kurang dari siklus lainnya.
Hikmah utama yang dapat dipetik dari penelitian mengenai waktu subjektif adalah bahwa manajemen waktu bukanlah seorang teman, bahkan bisa menjadi musuh jika kita terlalu fokus pada efisiensi dalam target waktu. Yang kita perlukan adalah pandangan yang lebih subyektif terhadap pengalaman holistik waktu untuk melihat waktu obyektif melalui lensa subyektif. Mulailah berfokus pada pekerjaan sebagai rangkaian peristiwa yang bermakna daripada jadwal tetap setiap jam. Dan, untuk mencari makna dalam pekerjaan apa pun, ajukan pertanyaan ini: Di manakah pekerjaan ini sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai saya? Pergeseran mental ini akan membantu kita beralih ke pelacakan kalender yang paling efisien untuk mengejar pekerjaan yang lebih memuaskan.
Aspek Fundamental Metode Penelitian
Mulailah melihat waktu-waktu yang tidak teratur dan aktivitas-aktivitas yang tidak teratur sebagai sumber kreativitas dalam pekerjaan kita, yang menyegarkan dan mengingatkan kita mengapa kita memilih jalan hidup yang kita jalani, karir yang kita jalani, dan kondisi sosial yang kita miliki. Dengan cara ini, kita akan mencapai lebih banyak dan merasakan lebih banyak energi di tempat kerja dan di rumah, sehingga kita akan merasakan kebahagiaan dan kesehatan yang baik dalam pekerjaan dan kehidupan.
Sebagaimana tercantum dalam surat al-Furqan (25:62): “Dan Dia (juga) mengubah malam dan siang bagi orang-orang yang menegur dan mengucap syukur.” Dan Ali Imran (3:190) yang mengatakan: Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (dari Allah) bagi orang-orang yang mengetahui. (QS Ali Imran : 190), justru memotivasi kita sebagai manusia untuk mampu mengatur waktu subjektif dalam menjalankan siklus kehidupan di dunia ini. Aliran Penulisan Artikel Sains Populer di Al-An’am: Antropologi Sosial [6]: 108 (Studi Pencegahan Degenerasi Nasional) Pemikiran Jean-Jacques Rousseau tentang Gender: Analisis dalam Kerangka Etis dan Politik dari Wahyu Pertama hingga Perjalanan Terakhir: Kebutuhan Mendesak dan Implikasi Kompilasi Al-Qur’an Pemikiran Terkini dalam Linguistik Al-Qur’an: Analisis Kritis terhadap Kitab Husain Abdul Rauf
Pada bab 2 ini saya akan memaparkan teori pandangan kedua. Bagi Hosni Mu’adh, teori pandangan kedua mengasumsikan Al-Qur’an sebagai subjek yang mempunyai hubungan dan hubungan langsung dengan pembaca teks Al-Qur’an. Mengapa hal ini mungkin terjadi? Karena dalam konteks ini, bahasa tidak hanya dianggap sebagai alat penyampaian informasi, tetapi juga dimaknai sebagai suatu tindakan: berbicara sama bermaknanya dengan tindakan.
Inilah yang mengejutkan saya, yaitu metafora bahasa yang digunakan Hosseini (hlm. 38). Ini juga yang menjadi kunci dari ide yang ia tawarkan. Saya langsung tahu apa maksudnya.
Memahami Seni Memahami (catatan Ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)
Tesis bahasa sebagai tindakan, dalam penelitian saya, pertama kali dikemukakan oleh Austin dalam karyanya pada tahun 1962. Ia lahir sebagai kritik terhadap bahasa yang dianggap hanya sebagai katalisator dalam menggambarkan dunia (J. L. Austin, 1962, p. 1). Berikut contoh bahasa sebagai tindakan: menyatakan perang, melahirkan anak, membuka/menutup rapat, berjanji, meminta orang melakukan sesuatu, dan sebagainya.
Untuk menggambarkan hal ini, Hussaini memberikan analogi sederhana. Di sepanjang jalan ada seorang dermawan yang mengacungkan tangannya kepada setiap orang yang lewat. Dia tidak mengatakan apa pun kecuali mengangkat tangannya. Tindakan mengangkat tangan merupakan sebuah “aksi” (hlm. 39).
Tindakan selalu terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah bagian mental. Kedua, bagian fisik. Komponen mental berkaitan dengan niat atau motivasi, kemudian komponen fisik berkaitan dengan gerakan mengangkat tangan (pada bagian ini). Komponen niat merupakan penyebab dari komponen angkat tangan. Ketiadaan suatu bagian menjadikan akta itu tidak sah.
Penjelasan di atas mengingatkan saya pada pengertian kata dalam sains